Home » » Obat Baru Perbaiki Kualitas Hidup Pasien Reumatoid Artritis

Obat Baru Perbaiki Kualitas Hidup Pasien Reumatoid Artritis

KOMPAS.com -  Ajat Sudrajat (44), seorang perawat dari Sumedang, Jawa Barat, sudah menderita reumatoid artritis (RA) selama beberapa tahun. Tidak hanya terus menerus merasakan sakit pada sekujur tubuh dan persendian, ia juga merasakan kelelahan dan depresi karena tidak mampu bergerak dan hidup sebagaimana mestinya.

Jari-jemari tangannya yang kaku membuat ia tidak bisa bekerja secara optimal. Ia kesulitan untuk membungkuk atau jongkok. Bahkan melakukan hal sederhana seperti mengancingkan pakaian pun ia tak bisa.

"Saya menjadi perawat karena ingin membantu orang, tetapi malah saya menjadi menjadi beban bagi orang lain," katanya saat ditemui dalam sebuah acara jumpa pers di Jakarta Jumat, (13/4/2012).

Sudah lama ia mencari berbagai pengobatan yang sesuai, sampai akhirnya ikut serta dalam studi bertajuk PICTURE INA. Ini adalah studi klinis obat reumatoid artritis Tocilizumab yang dilakukan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung di bawah pengawasan Dr. Rachmat Gunadi, SpPD-KR.  Setelah beberapa minggu menjalani pengobatan, sakit pada persendiannya mulai berkurang dan ia mulai merasa lebih baik. Kini ia bahkan sudah bisa membungkuk dan jongkok, mengancing pakaian, menggenggam benda dengan kuat dan berjalan lebih jauh.

Rematoid artritis adalah salah satu bentuk paling umum penyakit autoimun dan memengaruhi lebih dari 21 juta orang diseluruh dunia. Sementara di Indonesia diperkirakan 30 persen dari jumlah penduduk mengalami penyakit ini. Penyakit RA biasanya ditandai dengan munculnya peradangan kronis dari sendi tangan dan kaki. Peradangan ini menyebabkan nyeri sendi, kekakuan dan pembengkakan, yang menyebabkan hilangnya fungsi sendi karena kerusakan tulang dan tulang rawan, yang berujung pada kecacatan.

Direktur Penyakit Tidak Menular Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan Dr. Ekowati Rahajeng mengungkapkan, akhir-akhir ini ada kecenderungan peningkatan kasus penyakit auto-imun di Indonesia, di mana hal ini menimbulkan beban ganda tidak hanya bagi penderita, tetapi juga bagi negara.

"Meski belum ada data spesifik untuk jumlah kasusnya, namun kita perlu waspada akan fenomena gunung es pada kasus reumatoid artritis," katanya.

Eko menyampaikan, minimnya pengetahuan masyarakat soal penyakit ini membuat RA diangap sebagai nyeri sendi biasa.  Alhasil, pasien tidak mencari pengobatan yang tepat. Akibatnya, penyakit tersebut semakin parah dan menurunkan kualitas hidup pasien.
"Tidak hanya itu, pasien dengan Rematoid Artritis juga rentan terkena komplikasi sistemik lain seperti osteoporosis, anemia, dan penyakit jantung," jelasnya.

Ia menambahkan, di Indonesia baru sekitar 14 persen kasus dengan RA yang berhasil terdiagnosis. Seiring dengan bertambahnya usia, maka risiko seseorang untuk mendapatkan penyakit ini semakin besar.  Eko mengatakan, meski penyakit ini rentan diderita orang dewasa tua, namun kini banyak anak remaja yang sudah terkena. Hal ini dikarenakan pola makan dan gaya hidup yang buruk.

"Sekarang banyak anak usia 18 tahun sudah menderita RA, meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak," paparnya.
Ketua Indonesia Rheumatology Association (IRA) Prof. Dr. dr. Handono Kalim, SpPD-KR yang juga merupakan salah satu principal investigator pada studi klinis PICTURE INA menyatakan kehadiran Tocilizumab memberikan harapan bagi pasien RA. Studi klinis PICTURE INA yang melibatkan 39 orang pasien menunjukkan hasil positif.

Hasil studi klinis dilakukan selama 24 minggu dan menunjukkan bahwa 85 persen dari peserta studi mencapai kesembuhan. Peneltiian ini menunjukkan manfaat Tocilizumab bagi pasien RA dengan efikasi tinggi dan profil keamanan yang toleran.  Sebagai kelanjutan studi tersebut, terapi Tocilizumab telah mendapat persetujuan dari BPOM dan kini telah tersedia bagi pasien di Indonesia.

Harga Bahan Bangunan